Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mendesak Polri mengusut tuntas aksi pencabulan seorang guru kepada puluhan murid di Bogor.
Pasalnya, jumlah korban diperkirakan lebih banyak dari yang terlaporkan. Adapun jumlah korban yang melapor ke pihak yang berwajib sebanyak 5 orang dan 4 diantaranya telah diberikan pendampingan. Namun demikian, jumlah korban diduga mencapai 30 anak.
“Untuk memutus mata rantai kekerasan seksual yang terjadi di sekolah, kami mendorong pihak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus ini. Jangan sampai ada korban lain yang tidak mendapatkan penanganan dan memendam trauma berkepanjangan sampai dewasa nanti,” kata Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak, Nahar dalam siaran pers, Jumat.
Nahar menyampaikan, KemenPPPA menyayangkan terjadikan kasus pencabulan tersebut. Seorang wali kelas harusnya membimbing dan melindungi murid-muridnya, serta dipercaya oleh para orang tua.
Mendorong Penyelesain Kasus
Oleh karena itu, ia mendorong penyelesaian tindak pidana kekerasan seksual juga tidak dilakukan di luar proses peradilan sesuai dengan amanat UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Ia mengungkapkan, Tim Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) KemenPPPA akan terus berkoordinasi dengan UPTD PPA Provinsi Jawa Barat dan UPTD PPA Kota Bogor untuk memantau perkembangan proses hukum dan kondisi korban.
Pihaknya akan melakukan asesmen bagi korban untuk mengetahui kondisi mental mereka.
“Dari hasil asesmen nantinya dapat ditentukan kebutuhannya dan pemberian dukungan seperti apa yang perlu diberikan,” tutur Nahar.
Selain itu, Nahar mendorong UPTD PPA dan pihak sekolah untuk menguatkan orang tua korban dan mengedukasi para orang tua yang anaknya diduga mengalami kekerasan seksual. Hal itu diharapkan bisa mendorong lebih banyak korban dan keluarga korban untuk melaporkan kasusnya.
Baca Juga : Jokowi Ngaku Tak Pernah Takut soal Krisis Pangan-Disrupsi Teknologi
Ia meyakini, kurangnya pendampingan dari orangtua terkait kondisi anak akan menjadi pemicu anak tidak mendapatkan dukungan emosional dari sosok terdekat.
Dampaknya anak akan sulit menemukan sosok yang bisa membantu dalam proses resiliensi ataupun mengekspresikan emosi sehingga dapat membantu anak dalam proses pemulihan psikisnya ke depan.
“Pihak sekolah juga diharapkan bisa mendukung penyelesaian kasus kekerasan seksual yang terjadi. Mulai dari terus melakukan koordinasi dengan pihak/lembaga terkait dalam rangka penyelesaian tindak kekerasan, hingga menjamin hak peserta didik yang menjadi korban agar mereka bisa terus mengenyam pendidikan tanpa stigma,” kata Nahar.
Sebagai informasi, dari hasil koordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Jawa Barat, diketahui pencabulan terjadi sejak akhir tahun 2022 hingga Mei 2023 terhadap murid berusia 10-11 tahun di kelas 5 hingga 6 sekolah dasar.
Pelaku bisa terancam pidana penjara paling lama 15 tahun serta denda paling banyak Rp 5 miliar. Ketentuan ini sesuai dengan pasal 82 ayat (1), (2), dan (3) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang.
Jika pencabulan dilakukan oleh pendidik, tenaga pendidikan, atau pengasuh anak dan juga mencabuli lebih dari 1 orang, maka dapat dikenakan tambahan sepertiga dari ancaman pidana.
Sedangkan jika mengalami, mendengar, melihat, atau mengetahui kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, segera lapor ke lembaga-lembaga yang telah diberikan mandat oleh UU TPKS, seperti UPTD PPA, Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat, dan Kepolisian. Masyarakat juga dapat melapor melalui hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau Whatsapp 08 -111-129-129.
Diberitakan Kompas.id, Kepolisian Resor Kota Bogor, Jawa Barat, menangkap seorang guru Sekolah Dasar Negeri Pengadilan 2 Kota Bogor karena pelecehan seksual terhadap belasan siswinya. Pemerintah Kota Bogor memastikan guru bernama Bayu Bagja Saputra itu dipecat.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Bogor Komisaris Rizka Fadhila mengatakan, pihaknya telah menerima empat laporan dari orangtua pelajar dan pihak Sekolah Dasar Negeri Pengadilan 2 Kota Bogor terkait tindakan pelecehan seksual oleh oknum guru.
”Laporan itu kami tindak lanjuti. Pelaku BBS (30) sudah kami tangkap Selasa kemarin. Ada delapan anak diduga menjadi korban dalam setahun terakhir akhir, 2022 hingga Mei 2023,” kata Rizka saat dikonfirmasi, Rabu (13/9/2023).
Hingga saat ini, penyidik Polresta Bogor masih mendalami kasus pelecehan seksual kepada siswi SDN Pengadilan 2. Tidak menutup kemungkinan jumlah korban bertambah. Dari keterangan sejumlah saksi, setidaknya ada 14 korban siswi.
Dari pemeriksaan awal, BBS yang baru diangkat menjadi aparatur sipil negara (ASN) itu melakukan tindakan tak terpuji kepada murid kelas 5 dan 6 dengan rentang umur 10-11 tahun. Dalam setahun terakhir, tersangka melakukan pelecehan seksual kepada sejumlah siswi yang sama berulang kali.
BBS yang telah bekerja sekitar empat tahun di sekolah itu melakukan aksi bejatnya di dalam kelas saat pelajaran berlangsung atau kegiatan ekstrakurikuler. ”Modusnya tersangka ini meminta anak-anak maju untuk memperagakan sesuatu. Lalu dia mengoreksi dan sengaja memegang dan menyentuh sesuatu yang tidak diperbolehkan,” katanya.
Atas tindakannya, polisi mengenakan Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No 23/2022 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 82 UU No 17/2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1/2016 tentang perubahan kedua atas UU No 23/2022 tentang Perlindungan Anak menjadi UU Pidana. Ayah satu anak itu terancam hukuman penjara maksimal 15 tahun penjara.