Jelang perayaan HUT ke-50 pada 10 Januari 2024, DPP PDI Perjuangan (PDIP) menggelar focus group discussion (FGD) dengan sejumlah tokoh pemuka pendapat (opinion leader) yang dilaksanakan di kantor pusat partai di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Kamis (5/1/2023). Salah satu poin mengemuka dalam FGD tersebut adalah peringatan bagi PDIP soal kutukan kekuasaan dengan tetap menjaga rasa cinta untuk rakyat.
Hal tersebut disampaikan oleh salah satu opinion leader Fachry Ali. Selain Fachry, hadir juga opinion leader Ubeidilah Badrun, Airlangga Pribadi Kusman, Philip J Vermonte, Yudi Latif, Adi Prayitno, Arya Fernandez, dan Connie Rahakundini Bakrie.
Sementara jajaran DPP PDIP dipimpin oleh Sekretaris Jenderal Hasto Kristiyanto. Dalam kesempatan itu, hadir sejumlah Ketua DPP PDIP seperti Ahmad Basarah, Tri Rismaharini, Djarot Saiful Hidayat, Yasonna H Laoly, Rudianto Tjen, Sukur Nababan, dan Mindo Sianipar. Hadir juga Ketua Dewan Pakar Balitpus PDIP Sonny Keraf, anggota DPR PDIP Andreas Pareira dan Deddy Yevri Sitorus. Kemudian, Sekjen dan Ketua DPP TMP Restu Hapsari serta Hanjaya Setiawan.
“PDIP harus waspada dengan kutukan kekuasaan dalam artian siapapun yang berkuasa, ia harus menjaga rasa cinta rakyat karena itulah modal terkuat partai politik,” ujar Fachry.
Menurut Fachry, salah satu modal kuat dari PDIP adalah simpati dan rasa cinta masyarakat yang sudah terbangun sejak era Soekarno dan kemudian di era Megawati Soekarnoputri yang ditekan di masa Orde Baru.
“Hal ini penting untuk dikemukakan karena pada Pemilu 2004 saat PDIP kalah, modal kultural itu disia-siakan,” tutur Fachry.
Selain itu, Fachry juga menilai PDIP adalah partai politik yang bisa disebut sebagai pahlawan demokrasi.
“Yakni ketika Mbak Mega menolak gagasan pemunduran pemilu dan menolak gagasan presiden tiga periode,” imbuh Fachry.
Menjelang usia 50 tahun, kata Fachry, PDIP terlihat selalu bergerak secara konstitusional dan minus manuver politik. Untuk itu, dia menyarankan PDIP agar lebih sering melakukan manuver politik.
“Terkesan PDIP selalu defensif, yang sebenarnya dalam konteks berpolitik, itu kurang positif. Dalam konteks visi misi presiden nanti, sikap defensif PDIP ini menurut saya harus dihilangkan dulu,” ungkap Fachry Ali.
Sementara Connie Rahakundini Bakrie mengatakan, sebagai parpol terbesar di Indonesia, PDIP memiliki peran strategis dalam menentukan arah masa depan bangsa Indonesia. PDIP dinilainya akan menjadi salah satu aktor penting yang bisa merubah paradigma pertahanan dan diplomasi politik luar negeri Indonesia dari yang saat ini defensif menjadi lebih ofensif.
“Saya percaya PDIP mampu mewujudkan organisasi politik yang solid, punya nilai, dan teguh memegang ideologinya untuk membawa Indonesia maju sebagai negara yang kuat,” kata Connie.
Yudi Latif mengatakan ada sejumlah tantangan global yang urgen untuk dipahami. Salah satunya, tantangan menghadapi diverse democracy dan seluruh masyarakat demokrasi dunia tergagap meresponsnya.
Tantangan lainnya adalah menghadapi stagnasi dan krisis ekonomi dalam situasi kesenjangan ekonomi yang lebar. Menurut Yudi, situasi saat ini butuh empati dan solidaritas tinggi, namun nyatanya yang berkembang adalah saling benci dan menyangkal.
“Tantangan ketiga adalah bagaimana mengembangkan kemajuan peradaban dalam konteks global order yang juga ramah terhadap perubahan ekosistem lingkungan global. Jadi, bagaimana dunia maju teknologi tetapi juga harmoni dengan lingkungan,” ungkap dia.
Yudi menegaskan, sebenarnya semua tantangan global itu sudah direspons oleh Pancasila. Sayangnya, tutur dia, bangsa Indonesia kerap tak sadari soal Pancasila dan justru berkiblat kepada demokrasi model AS.
“PDIP adalah jangkar atau pasak bumi bagaimana mengembangkan demokrasi dalam masyarakat multikultur. Cara Indonesia selesaikan masalah keragaman, misalnya. Maka masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim bersedia memberikan hak yang sama kepada minoritas,” urai Yudi Latif.
“Saya melihat modal dasar itu belakangan tergerus karena munculnya politik identitas akibat pengaruh global. Sehingga bagaimana ke depan kita kendalikan tendensi eksplosif politik identitas dan PDIP ada terdepan menyangkut masalah itu,” tegas Yudi Latif menambahkan.
Sementara Philip Vermonte menyinggung soal perlunya PDIP lebih memelopori penguatan kapasitas kader partai yang akan duduk di posisi strategis kenegaraan, khususnya di parlemen.
Selama ini, kata Philip, PDIP sudah bagus dengan Sekolah Partai-nya, namun empat fungsi parlemen belum berjalan maksimal karena expertise yang kurang mumpuni. Hal ini juga disebabkan hubungan parpol, politisi, dan pejabat dengan ahli atau scientist relatif miskin.
“Sehingga kerap keputusan politik pemerintahan dikritisi. Kalau parpol tak profesional dengan empat fungsi DPR itu, maka politik hanya akan dianggap menghasilkan hal buruk. Maka ke depan, bagaimana empat fungsi itu diperkuat melalui profesionalisasi di kader parpol sehingga mereka bisa menjalankan fungsinya dengan profesional,” kata Philip.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menjelaskan pertemuan dengan opinion leader itu dilakukan dalam rangka perayaan HUT PDIP ke 50 pada 10 Januari mendatang. PDIP, kata Hasto, ingin mendapat saran dan masukan para opinion leaders bagi kiprah partai ke depan, khususnya menyongsong Pemilu 2024 dan Indonesia Emas 2045.
“Usia ke-50 tahun ini PDI Perjuangan melakukan kritik dan otokritik, mendengarkan masukan para pakar, agar bisa lebih mantap di dalam melakukan pelembagaan partai, memperkuat komitmen pada wong cilik dan juga tanggung jawab bagi masa depan. Itulah motivasi utama pertemuan ini,” kata Hasto.