Politik identitas yang digunakan oleh kelompok tertentu pada Pilpres 2019 diyakini tidak akan laku lagi jika masih digunakan pada Pilpres 2024.
Penggunaan politik berbasis identitas terbukti gagal untuk memenangkan kontestasi Pemilu 2014 dan 2019. Karena itu, semua calon dan tim sukses harus berpikir ulang jika ingin menggunakan strategi politik identitas karena hasilnya akan sia-sia.
Hal ini dikatakan Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saiful Mujani seusai diskusi publik Bahaya dan Antisipasi Politik Identitas dan Syukuran Ulang Tahun ke-53 Ketua Umum Taruna Merah Putih, Maruarar Sirait di Kantor DPP Taruna Merah Putih di Jakarta.
“Politik identitas terbukti dikalahkan politik kebangsaan. Politik identitas itu tidak akan laku dalam kontestasi politik di Indonesia, dan kalaupun digunakan maka tidak akan bisa untuk memenangkan calon,” kata Saiful.
Untuk mencegah berkembangnya penggunaan politik identitas, lanjut dia, kuncinya ada pada penegakan hukum. Langkah ini akan memberikan ruang sempit bagi pihak-pihak yang berkukuh menyuarakan politik identitas dalam pemilu. “Kuncinya ketegasan dalam penegakan hukum,” ujarnya.
Saiful mengajak seluruh pihak berperan penting mentransformasi pola pikir lama. Arena pemilu harus diramaikan dengan adu gagasan, visi, misi, serta rekam jejak calon pemimpin baru.
Lebih lanjut Saiful mengatakan, lemahnya kedekatan publik dengan partai menjadi penyebab munculnya polarisasi sosial dan politik identitas. Karena itu, lanjut Saiful, makin kuat pembangunan sistem politik kepartaian, maka keragaman yang potensial membuat polarisasi atas dasar identitas sosial bisa ditekan atau bisa dikurangi.
Dia mengungkapkan, politik identitas sumbernya adalah belum mampunya mentransformasi identitas sosial ke identitas politik. Identitas politik masih jadi subordinasi dari identitas sosial.
Saiful mencontohkan, identitas sosial di Amerika Serikat yang sudah bertransformasi. Joe Biden dan Barack Obama bukan dilihat sebagai Katolik dan orang Afro, tetapi sebagai politisi Demokrat. Di Inggris, Perdana Menteri saat ini tidak dilihat orang etnik India, tetapi dari partai konservatif.
“Di Indonesia, orang tidak Islam, tidak akan berani nyapres. Bung Ara bakal mikir seribu kali kalau mau jadi presiden atau Gubernur Sumut. Karena beliau bukan Islam,” sebutnya.
Ke depan, dilihat dari kekuatan politik formal di tingkatkan elite, dia optimistis Indonesia tak akan pecah karena politik identitas di 2024. Namun, diingatkan, selama tidak ada perbedaan yang mendasar platform antara calon satu dengan yang lain, maka akan muncul politik identitas.